MINDSET KONSUMERISME HINGGA INSTAN GRATIFICATION GENERASI MASA KINI

 

MINDSET KONSUMERISME HINGGA INSTAN GRATIFICATION GENERASI MASA KINI

Rizky Ahmad Fahrezi


Source gambar : www.jumpaonline.com

Tidak dapat dipungkiri, generasi masa kini grow up di dunia yang serba cepat dan mudah. Dunia yang dipenuhi dengan berbagai terobosan teknologi yang memudahkan beragam aktivitas dan akses kebutuhan. Perkembangan zaman modern menawarkan berbagai fasilitas dan produk yang serba instan sehingga menyebabkan pemenuhan kebutuhan masyarakat masa kini menjadi lebih cepat dan praktis.

Namun, pesatnya perkembangan zaman tidak hanya memberikan dampak positif dalam arti kemudahan dan ketercepatan tapi juga banyak memberikan dampak negatif. Zaman kemajuan teknologi atau globalisasi dengan dampak buruknya sempat dikritik oleh seorang filsuf Jerman bernama Herbert Marcuse yang menyatakan bahwa perkembangan zaman dapat membuat masyarakat masa kini berkiblat pada dimensi kapitalisme yang pada nantinya mengarah mada budaya konsumerisme.

Konsumerisme adalah gaya hidup yang senang menghabiskan sumber daya seperti waktu dan uang untuk memenuhi hasrat, kebutuhan dan kesenangan pribadi (konsumsi). Perilaku konsumerisme berlebih seperti berbelanja secara berlebihan (berfoya-foya), menghabiskan waktu dengan hal yang kurang produktif (wasting time) dan gaya hidup boros. Konsumerisme hidup ketika diri seseorang diukur dari “apa yang dimiliki” daripada “menjadi apa”.

Pada zaman modern ini, pola pikir konsumerisme dinilai semakin menjamur dan termanjakan. Kemajuan zaman dengan beragam kehadiran fasilitas digital seperi media informasi dan komunikasi membukakan orientasi masyarakat untuk memenuh kebutuhan mereka dengan tuntutan cepat, praktis, tersegerakan, dan undelayed. Hal ini tentu mengubah pola pikir masyarakat khususnya generasi masa kini untuk mengedepankan sisi praktis dan instan daripada value dan quality.

Tidak hanya menyoroti sisi produk yang dikonsumsi, budaya konsumerisme juga berdampak pada pola pikir generasi masa kini pada konsumsi pemahaman dalam pembangunan perspektif terhadap beragam isu dan fenomena sosial, khususnya melalui media digital. Budaya konsumerisme terhadap media menjadikan generasi masa kini terlalu mudah meng-amini dan meng-iyakan apapun yang tersuguhkan di dalamnya. Kekhawatiran nyata muncul ketika generasi masa kini tidak bisa lagi menggunakan media sebagai fungsi dalam mengungkap suatu ide dari gagasan bahkan suatu perasaan manusia, namun saat ini medialah yang mengatur gagasan dan menata perasaan manusia dengan beragam kontennya.

Budaya konsumerisme terhadap kemajuan teknologi juga dapat mendegradasi kepekaan sosial dalam sebuah kultur society. Hal ini karena kemajuan teknologi akan semakin menawarkan nilai estetika yang tentunya mengundang kesuburan pola pikir konsumerisme yang terbungkus dalam mode (mode of consumption), pemenuhan kebutuhan akan nilai tersebut akan mengeliminir sisi kognitif dari semua produk teknologi alhasil dapat menyebabkan gesekan dan klasifikasi sosial berdasar mode. Tentu ini akan mendegradasi keterikatan sosial complement each other.

Seperti yang dinyatakan oleh Martin Buber, dimana telah terjadi sebuah kesalahpahaman diantara manusia. Manusia tidak berdiri dengan sesama manusia sebagai neighbour melainkan berdiri sebagai stranger. Mereka tengah berada didalam suatu tempat yang sama tetapi tidak mengalami kepekaan terhadap sekitarnya atau civic indifference (ketidakpedulian sipil).

Pola pikir konsumerisme berkaitan erat dengan instan gratification (kepuasan instan). Keduanya berkaitan erat, ketika seorang individu ingin cepat mendapat kepuasan maka selanjutnya budaya konsumerisme akan mengikuti, begitupun sebaliknya ketika seorang individu memiliki pola pikir konsumerisme pasti bertujuan untuk memenuhi hasrat, kebutuhan dan kesenangan (kepuasan).

Kepuasan dalam arti instan gratification adalah kepuasan yang ingin didapatkan secara praktis bahkan bahkan mengacuhkan nilai sebuah proses. Kepuasan instan yang segera ingin diwujudkan dari keinginan yang terpenuhi. Pada zaman serba cepat ini tentu mendukung hal tersebut, ketika seorang individu menginginkan sesuatu tinggal memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi masa kini. Hal ini membuat generasi penikmat teknologi masa kini merasa selalu ingin cepat puas (instan gratification). Dalam kasus sederhana misalnya kecanduan belana online demi pemenuhan keinginan secara instan, melakukan paraphrase copy writing untuk tugas kuliah, bahkan kecanduan game dengan dalih menghilangkan stres atau melepas kesepian. Perilaku ini menjadi kebiasaan yang tentunya kurang produktif dan mendegradasi kemampuan kognitif, kreatif, inovatif dan rasa semangat berproses.

Pada kasus sosial instan gratification dapat memicu terjadinya penafsiran tunggal dan instan conclusion terhadap beragam kejadian bahkan penilaian terhadap persolan lain. Seseorang yang memiliki pola pikir instan gratification akan cenderung membuat pemikiran sepihak terhadap apapun yang ia lihat, pemikiran tersebut akan mengarah pada kesimpulan instan bahkan nantinya menjadi latar munculya keputusan sepihak tanpa menimbang kepentingan atau perspektif sekitar. Hal ini dapat memunculkan sikap individualisme, bahkan dengan keputusan sepihak tentu hanya akan menguntungkan individu atau pihak tertentu dan mengeliminir pihak lain (merugikan).

Contoh akibat instan gratification seseorang akan terlalu mudah menyimpulkan buruknya suatu hal tanpa menimbang dan meneliti perspektif lain yang seharusnya bisa digali terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan. Contoh lain adalah seseorang yang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa berpikir dan menimbang beragam faktor, misalnya fenomena anak muda yang cepat depresi kemudian bunuh diri atau anak muda yang penuh masalah dan mengkonsumsi narkoba sebagai pelarian.

Menilai dari segi progressifitas, pola pikir instan gratification generasi masa kini dikhawatirkan akan mendegradasi pemahaman tentang pentingnya perjuangan dan proses yang panjang untuk meraih suatu pencapaian. Generasi yang terlalu ingin cepat meraih tujuan, ingin cepat sukses dan cepat kaya tanpa jungkir balik (proses) menjadi permasalahan mindset yang harus diluruskan.

Instan gratification berdampak pada lemahnya kebijakan dalam mengambil langkah, control diri, pengambilan keputusan, dan semangat perjuangan. Sehingga salah satu cara untuk mengatasi instan gratification yaitu mengatur skala prioritas (mendahulukan hal yang lebih penting atau primer daripada sekunder), delay gratification (menunda kepuasan), mengelola keputusan secara bijak dengan menimbang beragam perspektif, belajar berproses, belajar hidup di dalam ketidaknyamanan.

Tentunya sebuah keberhasilan membutuhkan proses dan perjuangan, hasil dari pemikiran dan perjuangan masa ini akan terlihat di masa mendatang, jika budaya kurang produktif dan kurang berproses dibiasakan maka keterpurukan nyata dimasa mendatang. Seperti pesan dari Ray Diallo seorang konglomerat asal Amerika yaitu.

“Jika terlalu membenamkan diri dalam konsumerisme tanpa melakukan saving, membuang-buang uang demi kemewahan untuk saat ini, nyatalah ganjaran penderitaan akan didapat di masa mendatang”.

 

 

REFERENSI

Borah, Tulika. 2023. “Gratification and The Digital Natives: A Pilot Study”. Educational Administration: Theory and Practice. 29(3), 928-933. ISSN: 2148-2403.

Octaviana, Riana. 2020. “Konsumerisme Masyarakat Modern dalam Kajian Herbert Marcuse”. JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 5, No. 1. p-issn 2541-352x e-issn 2714-9420.

Post a Comment

0 Comments