Pelik
polemik, huru-hara, dan binar problema selalu mengiringi kehidupan esensial
manusia. Terlebih manusia muda dengan ketelusuran emosi dan manifestasi jati
diri, menjadi terduga akan tumpukan intrik emosional dan olah rasa. Tidak
sedikit masalah mental seperti overthinking, kecemasan berlebih, dan rasa
hilang arah menyertai generasi muda masa kini.
Berdasar
pada fenomena tersebut, generasi perlu untuk memiliki pegangan pola pikir yang
memunculkan ketenangan, kefokusan, kesadaran diri, dan berujung pada pelecutan
substansi diri (percaya diri dan berani). Disinilah terdapat ajaran Stoikisme
sebagai sandaran yang dapat digunakan sebagai sarana olah rasa dan olah idea
(pikiran).
Stoikisme
adalah adalah filsafat praktis yang berkaitan dengan mengajarkan kebajikan,
keberanian, keadilan, dan kesederhanaan agar bisa objektif menilai hidup serta
mencapai kebahagiaan dalam hidup. Orang-orang stoic percaya bahwa emosi
negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah dan bahwa
seorang shopis (orang dengan kebaikan
mental dan intelektual) tidak pernah memiliki emosi yang dapat merusak kebahagiaan.
Stoikisme adalah cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, seorang stoic dapat hidup bahagia ketika ia tidak terpengaruh dengan hal-hal diluar dirinya. Dalam ajaran Stoikisme terdapat prinsip dikotomi kendali.
Seperti pernyataan Epictetus dalam bukunya Enchiridion
menyebutkan : “Ada hal-hal yang berada
dibawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada dibawah kendali kita (tidak tergantung pada kita)”.
Pernyataan
tersebut bermakna bahwa dalam dualitas pemikiran kendali, terdapat kondisi
diluar kendali dan didalam kendali kita. Sesuatu yang diluar kendali kita
bukanlah sebuah perkara yang harus dipusingkan, hal tersebut menjadi teorema
alam yang sulit atau tidak bisa kita rubah. Apabila terpusingkan akan perihal
tindakan perubahan padanya, justru bakal menciptakan permasalahan mental yang signifikan.
Sebaliknya, kondisi dalam kendali menjadi kehendak dan ruang yang bisa atau
harus diusahakan. Menjadi ruang bagi kita untuk memanifestasikan usaha-usaha kebaikan
yang terpusat pada tujuan kemaslahatan.
Kebahagiaan
sejati datang dari hal-hal yang bisa dikendalikan. Ajaran ini membebaskan
karena memberdayakan (empowering) kita. Sebaliknya kita tidak dapat
mengendalikan hal-hal diluar kendali kita. Namun, kita dapat aktif menentukan
respon kita terhadap peristiwa-peristiwa dalam hidup kita
Terdapat
beberapa hal yang menurut beberapa filsuf stoic termasuk dalam kendali
kita, seperti: pertimbangan, opini, persepsi, keinginan, tujuan, pikiran dan tindakan
peseorangan. Kemudian hal diluar kendali kita, seperti : tindakan orang lain,
opini orang lain, reputasi atau popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi
bawaan, cuaca dan peristiwa alam, dll.
Tujuan
utama dari Stoikisme ini adalah kehidupan bebas dari emosi negatif, mendapatkan
ketentraman hidup, dan hidup dengan menggagas asah kebajikan. Dalam ajaran ini termuat
empat kebajikan utama yakni: kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan menahan
diri.
Pemikiran
stoic dapat memberikan kejelasan arah pada proses berpikir dan manajemen
emosional. Menilik pada beberapa fenomena mental generasi muda, tentu pemikiran
dan ajaran stoic menjadi penting untuk dipahami dan diterapkan. Terlebih
dalam menghadapi perkembangan pesat teknologi, ketangguhan mental dan kemampuan
pengendalian diri menjadi atribut pokok bagi generasi masa kini yang
terposisikan sebagai objek tersasar paparan manifes teknologi.
Stoikisme
memberi beberapa kebermanfaatan pada manajemen hidup manusia seperti mengurangi
overthinking dan kecemasan, dengan prinsip “fokus pada hal didalam
kendali” generasi masa kini dapat berdamai dengan beragam tekanan sosial. Mengembangkan
disiplin diri dan tanggung jawab, dengan ajaran ketenangan penuh
tertimbangan tertuju pada kebijaksanaan, generasi mampu mengambil tanggung
jawab penuh atas pikiran dan tindakan sendiri. Menjaga otentik diri dan
integritas di tengah arus kemajuan media, pada era penuh gimik dan pencitraan,
stoikisme mengajarkan untuk hidup sesuai nilai, bukan validasi orang lain. Terakhir,
dapat membentuk sikap bijak dalam menghadapi konflik dan kritik.
Stoikisme juga dapat menjadi deliver energi bagi keberlanjutan lecut gagas dan daya generasi masa kini dalam mewujudkan perannya. Di tengah peradaban yang penuh distraksi, tekanan sosial, dan tuntutan hidup, tentu akan menguras banyak energi baik energi mental, emosi, dan fisik. Stoikisme mampu hadir untuk menyalurkan energi positif bagi generasi guna menangani suatu polemik destruktif dan menindaklanjuti manifes tindakan produktif proaktif.
Stoikisme bukan tentang pasrah atau tidak peduli, tetapi tentang menyadari bahwa tidak semua hal layak untuk menguras energi. Dengan prinsip “fokus pada hal yang bisa dikendalikan”, stoikisme mengajarkan kita untuk menyimpan energi hanya untuk hal-hal yang bermakna seperti tindakan nyata, pengembangan diri, dan pelayanan terhadap sesama.
REFERENSI
:
Fajrin, DI. 2022. “Konsepsi Pengendalian
Diri dalam Perspektif Psikologi Sufi dan Stoicisme”. Jurnal Riset
Agama UIN SGD. Volume 2 Nomer 1.
0 Comments